6 Mei 2017

Petarung Kidal




Bibliografi antologi puisi:
Dody Kristianto. 2013. Petarung Kidal. Surabaya: Festival Seni Surabaya (FSS) bekerja sama dengan Satukata dan Amper Media.



Tjahjono Widarmanto memberi ulasan bahwa Dody Kristianto tampaknya memiliki ingatan – bawah sadar atau sadar – tentang dunia persilatan. tampaknya ia memiliki kegemaran membaca cerita-cerita silat atau komik-komik silat, baik yang ditulis berlatar Cina maupun yang berlatar dalam negeri. sangat mungkin pula Dody juga praktisi silat yang bertahun-tahun menekuni dunia pencak sehingga tradisi pencak silat itu berurat akar di dunia bawah sadarnya dan diam-diam suatu saat tiba-tiba nylonong dalam proses berpuisinya.

adalah sebuah ketidaksengajaan jika saya seperti juga Dody gandrung pada cerita silat. semua cerita silat – juga silat itu sendiri – selalu mengambil setting masa lampau; bagian yang tak terpisahkan dari masa lalu! selalu tak terduga, tak bernalar, dan selalu memberi tempat pada sesuatu yang irasional seperti wangsit, laku, kekuatan yang tak kasat mata. sesuatu yang tak terduga dan tak bernalar, yang selalu menjadi ciri masa lalu itulah yang “mengikat” cerita silat (juga silatnya) dengan para pembacanya (pun praktisinya!).

penulis dan pembaca cerita silat selalu terpesona masa lalu. demikian juga ketakjuban mereka akan jurus-jurus silat yang dimainkan para tokoh yang juga sangat imajinatif seimajinatif para tokohnya. imajinasi yang muncul itu begitu menghibur, tak soal masuk di akal atau muskil. justru ketidakmasukakalan inilah semakin menanamkan imajinasi di benak pembacanya. dan, Dody Kristianto, dengan sangat kreatif memunculkan ingatan kita pada imajinasi atas ketertakjuban pada keperkasaan jurus-jurus itu. sesungguhnya, Dody Kristianto sedang meneruskan tradisi para sastrawan silat, meneruskan tradisi para empu, mengembangkan tradisi para suhu yang menuliskan kembali ingatan-ingatan tentang sebuah tradisi yang dibesarkan dan diberi tempat rakyat kecil.

dalam ilmu bersilat dan berpencak, tak hanya dikenal jurus belaka, namun di balik itu ada filosofi, ajaran, pedoman hidup, bahkan ritual yang dianggap sakral. sajak-sajak Dody cukup berhasil menampakkan filosofi itu. silat dengan jurus dan tentu saja dengan muatan falsafahnya (ajaran, petuah) merupakan salah satu dari memori masa lampau dalam Dody. dan, bukan sesuatu yang mustahil bila tiba-tiba bangkit (atau sengaja dibangkitkan) dengan pengungkapan yang berbeda. sajak-sajak Dody menampakkan hal yang serupa. memori masa lampau tentang persilatan yang pernah direkamnya bangkit kembali dan menjadi bentuk ekspresi estetika sajak-sajaknya, memunculkan puitika baru yang belum pernah digarap penyair lain.

situasi yang jungkir balik, yang tak menentu dalam kehidupan sosial politik kita saat ini, membutuhkan kehadiran seorang jago silat. jago silat adalah pendekar yang mumpuni dalam olah kanuragan dan olah kajiwan, yang tak pernah gentar menghadapi apa atau siapa pun. yang tak pernah silau mengarungi situasi apa pun karena yakin berada di pihak yang benar. dalam urusan resmi yang terkait politik dan birokrasi, atau tiran penindasan, jago silat tampil sebagai hero yang bertindak cepat tanpa pamrih. prestasinya sebagai juru atawa pendekar silat dicapainya dengan taruhan apa saja; mengorbankan diri, mengorbankan pacar, istri atau bahkan saudara-saudara seperguruannya. juga segala risiko apa pun akan ditempuhnya, seperti bertapa, menyiksa diri, berlatih keras dan sakit, semua akan ditempuhnya demi tujuan mulia: jadi pendekar kebenaran. seorang pendekar tak pernah berpihak pada apa pun dan siapa pun, tak pernah mengikatkan diri pada darah, keturunan, korps, apalagi duit. dia hanya akan berpihak pada golongan yang benar dan memproklamirkan diri untuk melawan segala golongan hitam yang sesat.

dunia bawah sadar Dody Kristianto tampaknya merindukan hero; sang pendekar itu. di tengah zaman yang penuh gebalau kemerosotan sosial, ekonomi, ketidakadilan, dan politik yang tak kunjung padam dan yang belum jelas benar siapa yang sanggup menemukan solusinya (mungkin juga segala persoalan personalnya, konflik batinnya), ia merindukan seorang pendekar yang bisa menuntaskan segala soal itu. karena Dody seorang penyair, ia tak memunculkan kehadiran pendekar itu sebagai sebuah kisah, namun memunculkannya dalam sajak-sajaknya berbagai jurus yang dahsyat. bahkan, ia mengimajinasikan dirinya sendiri sebagai sang pendekar itu, sang jawara yang “memungkasi” segala persoalan sosial dan personalnya. jadilah ia pendekar tak terkalahkan melawan “entahlah” dalam sajak-sajaknya.



Daftar puisi:

Sebelum Bertentang
Sebelum Bertentang dan Melatih Pukulan Kidal.

Mengamati Beberapa Jurus
Jurus Semburan Ular; Gerak Elang Mengelak; Jurus Penangkis Macan; Pencak Walang; Mengamati Tiga Jurus; Kunyuk Melempar Buah; dan Meyakini Bangau Ngantuk.

Memasuki Gelanggang
Tendangan Tanpa Bayangan; Langkah Penjinak Pedang; Menjajal Pohon; Di Depan Petarung Tanggung; Perihal Pencak Mabok; Langgam Tangan Hampa; dan Membalik Cakaran.

Tarung Tak Teraran
Membalik Arah Angin; Tapak Pemecah Angin; Jurus Terjauh; Memasuki Alam Tubuh; Mengumpulkan Tenaga Dalam; Kelihaian Tubuh Api; dan Tarung Tenung.

Sekian Hikayat Tarung
Memendam Jawara; Membangkitkan Pesilat Kadal; Menantang Sang Badra; dan Tentang Tarung Terakhir.

*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar