26 April 2017

Munajat Buaya Darat


Bibliografi antologi puisi:
Mashuri. 2013. Munajat Buaya Darat (Kitab Puisi). Yogyakarta: Gress Publishing.



menulis adalah sebuah kebutuhan. tak peduli jargon sebagian orang yang menganggap akhir romantik peran penyair, juga ihwal zaman yang cenderung anti-puisi, bahkan pada dogma mereka yang masih bersikukuh dengan tugas kepenyairan dengan terus mengibarkan tanggung jawab penyair pada dunia dan nasib kemanusiaan. tanpa menulis puisi, rasanya ada yang hilang dan butuh itu untuk menambal yang tanggal tersebut. tentu tak bisa abai pada kewajiban – semacam tanggung jawab profesi –, tetapi kewajiban itu berjalan bersama puisi-puisi.

tak setiap saat puisi hadir sehingga tak setiap saat menjadi “penyair”. puisi kerap kali mengembara karena ia kadang serupa udara yang bergerak bebas meski di dalam diri sudah menyiapkan ruang bermain, pikatan, tempat nan indah agar ia mau diam di sana, bahkan berdiwana di jiwa. ia hanya mau datang ketika diundang dengan ikhtiar tertentu atau tergetar atau tergoda ketika berhadapan dengan hal-ihwal atau peristiwa yang mengusik rasa kemanusiaan meski sepele dan remeh-temeh. karena itu, ada pengakuan diri sebagai penyair jadi-jadian sebagaimana harimau jadi-jadian yang tidak setiap saat menjadi harimau kecuali jika ruh harimau merasukinya. pada saat puisi hadir, jadilah “penyair”. selebihnya bukan siapa-siapa.

kerap juga kita menjadi pembaca puisi sendiri, belajar darinya dan pada saat tertentu juga bertukar-tengkar dengannya. puisi seringkali lebih cerdas dan lebih menggemaskan. dalam posisi tersebut ada kewajiban berendah hati untuk memasu sekian pengalaman darinya. kita merasa telah demikian dihargai dengan kehadiran puisi-puisi itu meski tidak setiap saat, meski harus sabar menunggu dan bersiap dengan menggali kenaifan diri, beredar dalam sekian pengalaman, dan tak lelah membaca berbagai gelaran baik yang tersurat maupun tersirat.

dari kerja itu, tak semua puisi lahir menjadi tulisan yang matang, bahkan kadang setengah matang, seringkali malah mentah. beberapa yang matang atau setengah matang terkumpul dalam buku-buku puisi ini, buku-buku kumpulan karya bersama, tersiar di media massa, ngendon di surat undangan pernikahan sahabat, sementara itu terdapat ratusan bakal puisi yang tertinggal di kertas-kertas yang telah lenyap karena dilalap banjir dan disantap rayap, SMS pada kekasih yang sudah terhapus, status di jejaring sosial yang tertimbun status baru, dan tilas lainnya.

sebagaimana nukilan di awal, menulis puisi adalah kebutuhan, tetapi puisi tetaplah puisi. ia tidak hadir dari langit kekosongan belaka. ia pun tak mudah dikotak dalam sebuah tempat yang rapat dan kedap suara. jika di antara pembaca, ada yang bersua, bahkan mungkin akrab, dengan puisi-puisi ini, tentu itu karena kemurahan pembaca yang telah meluangkan waktu untuk menyapanya. adapun jika ada yang memeroleh sekeping kemanfaatan, bahkan mungkin sejumput berkah, tentu itu bukan wilayah penyair dan puisi-puisinya.



Daftar puisi:

Patigeni
Tukang Potong; Perempuan Bertubuh Ombak; Luka Adammakna; Percakapan Taman; Khidr; Siwalan Perawan; Obat Hati; Munajat Buaya Darat; Leaki yang Menggali Kuburnya Sendiri; Aku Bangun Kubah di Lembahmu; Patigeni; Malaikat Rangkap; Jejaring; Suara Mendaki; Kemarin; Ladang Pengantin; Hari; Lorong Tak Berujung; Puisi yang Sama; Tanjung Cintaku; dan Gaung Kedung.

Penjantan Matahari
Meja Perjamuan; Sihir Pesisir; Ke Dinding; Kesabaran Abad; Laut yang Cidera; Kupu; Amsal Gulma; Perempuan Laut; Rindu Bidadari; Yang Terkubur Laut; Jelaga; Cucu Tarub; Bintang Jatuh di Hatiku; Sepanjang Tubuh; Hujan; Pejantan Matahari; Peta Hati; Rol; Imaji Bebuahan; Hati Gunung; dan Kitab Perempuan.

Asmarasupi
Darah Hitam; Buku Masa Lalu; Kerudung Bergambar Ular; Bulu Burung; Nujum Maut; Surat Malaikat; Tebing Kuda Lumping; Dadar Rembulan; Kahyangan Api; Ziarah Matahari; Sesat Sesaat; Hantu Lempung; Luka Laut; Belukar Langit; Asmarasupi; Ziarah ke Sintal Pinggulmu; Ciuman Gula Merah; Mantram Kolam; Ilusi Musim; Cenayang Dermaga; dan Berkah Gravitasi.

*

22 April 2017

Aku Ini Binatang Jalang


Bibliografi antologi puisi:
Chairil Anwar. 2009. Aku Ini Binatang Jalang (Koleksi Sajak 1942-1949). Cetakan keduapuluh satu. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.



Sapardi Djoko Damono memberi testimoni bahwa "aku mau hidup seribu tahun lagi" ditulis saat sang penyair berusia 20 tahun. 6 tahun berikutnya ia meninggal dunia. beberapa larik puisinya telah menjelma semacam pepatah atau kata-kata mutiara. ia terkenal sebagai penyair yang memiliki vitalitas sekaligus kejalangan. ciri senimannya pun muncul seperti tidak memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan.

sajak-sajak yang ditulis menjelang kematiannya menunjukkan sikap hidup yang matang dan mengendap meskipun umurnya baru 26 tahun. ia memang dianggap memainkan peranan menentukan dalam perkembanban sastra. ia tumbuh di zaman yang sangat ribut, menegangkan, dan bergerak cepat. peristiwa-peristiwa penting susul-menyusul. untuk pertama kalinya sejak dijajah Belanda, negeri ini membukakan diri lebar-lebar terhadap segala macam pengaruh dari luar. pemuda yang pendidikan formalnya tidak sangat tinggi ini harus menghadapi serba pengaruh itu. ia pun tidak hanya mengenal para sastrawan Belanda yang dicantumkan dalam pelajarn sekolah, tetapi juga membaca karya sastrawan sezaman dari Eropa dan Amerika.

seperti perubahan yang sangat cepat di sekelilingnya, Chairil Anwar pun tumbuh sangat cepat dan raganya layu dengan cepat pula. ketika meninggal dunia, mungkin sekali ia sudah berada di puncak kepenyairannya. tetapi, mungkin juga ia masih akan menghasilkan sajak-sajak yang lebih unggul lagi seandainya dia hidup lebih lama. beberapa sajaknya yang terbaik menunjukkan bahwa ia telah bergerak begitu cepat ke depan. bahkan bagi banyak penyair masa kini, taraf sajak-sajaknya tersebut bukan merupakan masa lampau tetapi masa depan yang mungkin hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat, dan kecerdasan yang tinggi. sudah sejak semula ia dinilai sebagai penyair penting atau terbesar, setidaknya sesudah Perang Dunia 2. dalam kedudukan demikian, sikapnya berkesenian tentu bisa berpengaruh terhadap pandangan kesenian bangsa. bagaimanapun, ia tampil lebih menonjol sebagai sosok yang penuh semangat hidup dan sikap kepahlawanan.



Daftar puisi:

1942
Nisan dan Penghidupan.

1943
Diponegoro; Tak Sepadan; Sia-sia; Ajakan; Sendiri; Pelarian; Suara Malam; Aku (Semangat); Hukum; Taman; Lagu Biasa; Kupu Malam dan Biniku; Penerimaan; Kesabaran; Perhitungan; Kenangan; Rumahku; Hampa; Kawanku dan Aku; Bercerai; Aku; Cerita; Di Mesjid; Selamat Tinggal; Mulutmu Mencubit di Mulutku; Dendam; Merdeka; Kita Guyah Lemah; Jangan Kita di Sini Berhenti; 1943; Isa; dan Doa.

1944
Sajak Putih; Dalam Kereta; dan Siap-Sedia.

1945
Kepada Penyair Bohang; Lagu Siul; dan Malam.

1946
Sebuah Kamar; Kepada Pelukis Affandi; Dengan Mirat; Catetan Th. 1946; Buat Album D. S.; Nocturno (fragment); Cerita buat Dien Tamaela; Kabar Dari Laut; Senja di Pelabuhan Kecil; Cintaku Jauh di Pulau; "Betina"-nya Affandi; Situasi; Dari Dia; Kepada Kawan; dan Pemberian Tahu.

1947
Sorga; Sajak buat Basuki Resobowo; Dua Sajak buat Basuki Resobowo; Malam di Pegunungan; dan Tuti Artic.

1948
Perseteruan dengan Bung Karno; Sudah Dulu Lagi; Ina Mia; Perjurit Jaga Malam; Puncak; Buat Gadis Rasid; dan Selama Bulan Menyinari Dadanya.

1949
Mirat Muda, Chairil Muda; Buat Nyonya N.; Aku Berkisar antara Mereka; Yang Terempas dan Yang Putus; Derai-derai Cemara; dan Aku Berada Kembali.

Sajak-sajak Saduran
Kepada Peminta-minta dan Krawang-Bekasi.

*

4 April 2017

Lalu Aku


Bibliografi antologi puisi:
Radhar Panca Dahana. 2011. Lalu Aku (Sekumpulan Puisi). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.



sajak-sajak di antologi ini dibagi menjadi tiga babak. babak pertama berjuluk Lalu Aku dengan muatan 17 sajak. babak kedua berjuluk Lalu Kau dengan muatan 14 sajak. babak terakhir berjuluk Lalu Akukau dengan muatan 14 sajak. sajak-sajak tersebut dilahirkan pada rentang tahun 2000 hingga 2010. di dalam bukunya beliau berkata bahwa "... kata harus ditemukan kembali. kata tidak selalu menjadi daratan yang statis, diam, dan tak bergerak. mungkin ia lautan yang senantiasa bergejolak, pergi-pulang, tiada henti. kata harus menemukan dirinya, yang tak lain menemukan manusia yang telah meninggalkan dan ia tinggalkan. maka, berkatalah. bukan hanya untuk mengerti tapi untuk menjadi. susunlah kata-kata hingga ia menjadi hidup yang berwaktu dan bercinta. susunlah ia jadi puisi sehingga ia memanusiakan kamu, sebagaimana sejarah waktu ada padamu, sejarah cinta membentukmu". beliau juga berkata, "biarlah puisi bergerak tiada henti, dan mayat manusia bangkit dari kubur adabnya. puisi akan menemukan dan menghidupkan manusia kembali. bagi yang terlena, yang mayat dalam kata-katanya, yang tak menggerakkan jiwa atau spirit manusia, yang tidak membongkar adab beserta fitnah dan tipuannya, yang terjebak dalam daratan yang membatu, ia akan menemui selalu puisi yang gagal, dalam hatinya yang beku".



Daftar puisi:

Lalu Aku
Sebut Namaku: Segera; Setan-Malaikat, Aku Menujumu; Tidur Aku Tidur Selalu; Dunia Fantasi; Hari Penghabisan Itu; Lidah Tak Bertahta; Lubang Pahlawan Bertubuh Aspal; Alam Adam Memfitnah Malam; Lelaki Sunyi Sendiri; Laluaku; Rumahku; Kamartamuku; Toiletku; Dapurku; Kantorku; Lotengku; dan Lautmati Tidurku.

Lalu Kau
Lelaki Tua Stasiun Kota; Yang Mati Sesore Bumi; Panggung Tuamu, Sobatku; Sisa Sore di Daster Misna; Batubara Menggeser Waktu, Acehku; Ragukan Aku Tanpa Ragu; Semangkuk Mi; Rahasia Masa; Aku Mencintaimu; Seindah Itukah Kamu?; Batu dan Seekor Ikan; Ibu yang Baik; Api Doy Menuju Gowa; dan Lenggokmu, Lenggok Waktuku.

Lalu Akukau
Akumu di Membran Waktu; Segala Cukup bagi Segala; Dunia Jembar Lidah Bergetar; Senjata Malam; Iblislah Nafsu; Iblislah Kamu; Televisi, Awal Subuh; Perawan di Balik Gunung; Celana Dalam; Dari Cinta yang Sederhana; Sebutir Kata dan Tempat Tidur; Pisau Kecil Pingkan Mambo; Hak; dan Mendengar.

*