Bibliografi antologi puisi:
Mashuri. 2013. Munajat Buaya Darat (Kitab Puisi). Yogyakarta: Gress Publishing.
menulis adalah sebuah kebutuhan. tak peduli jargon sebagian orang yang menganggap akhir romantik peran penyair, juga ihwal zaman yang cenderung anti-puisi, bahkan pada dogma mereka yang masih bersikukuh dengan tugas kepenyairan dengan terus mengibarkan tanggung jawab penyair pada dunia dan nasib kemanusiaan. tanpa menulis puisi, rasanya ada yang hilang dan butuh itu untuk menambal yang tanggal tersebut. tentu tak bisa abai pada kewajiban – semacam tanggung jawab profesi –, tetapi kewajiban itu berjalan bersama puisi-puisi.
tak setiap saat puisi hadir sehingga tak setiap saat menjadi “penyair”. puisi kerap kali mengembara karena ia kadang serupa udara yang bergerak bebas meski di dalam diri sudah menyiapkan ruang bermain, pikatan, tempat nan indah agar ia mau diam di sana, bahkan berdiwana di jiwa. ia hanya mau datang ketika diundang dengan ikhtiar tertentu atau tergetar atau tergoda ketika berhadapan dengan hal-ihwal atau peristiwa yang mengusik rasa kemanusiaan meski sepele dan remeh-temeh. karena itu, ada pengakuan diri sebagai penyair jadi-jadian sebagaimana harimau jadi-jadian yang tidak setiap saat menjadi harimau kecuali jika ruh harimau merasukinya. pada saat puisi hadir, jadilah “penyair”. selebihnya bukan siapa-siapa.
kerap juga kita menjadi pembaca puisi sendiri, belajar darinya dan pada saat tertentu juga bertukar-tengkar dengannya. puisi seringkali lebih cerdas dan lebih menggemaskan. dalam posisi tersebut ada kewajiban berendah hati untuk memasu sekian pengalaman darinya. kita merasa telah demikian dihargai dengan kehadiran puisi-puisi itu meski tidak setiap saat, meski harus sabar menunggu dan bersiap dengan menggali kenaifan diri, beredar dalam sekian pengalaman, dan tak lelah membaca berbagai gelaran baik yang tersurat maupun tersirat.
dari kerja itu, tak semua puisi lahir menjadi tulisan yang matang, bahkan kadang setengah matang, seringkali malah mentah. beberapa yang matang atau setengah matang terkumpul dalam buku-buku puisi ini, buku-buku kumpulan karya bersama, tersiar di media massa, ngendon di surat undangan pernikahan sahabat, sementara itu terdapat ratusan bakal puisi yang tertinggal di kertas-kertas yang telah lenyap karena dilalap banjir dan disantap rayap, SMS pada kekasih yang sudah terhapus, status di jejaring sosial yang tertimbun status baru, dan tilas lainnya.
sebagaimana nukilan di awal, menulis puisi adalah kebutuhan, tetapi puisi tetaplah puisi. ia tidak hadir dari langit kekosongan belaka. ia pun tak mudah dikotak dalam sebuah tempat yang rapat dan kedap suara. jika di antara pembaca, ada yang bersua, bahkan mungkin akrab, dengan puisi-puisi ini, tentu itu karena kemurahan pembaca yang telah meluangkan waktu untuk menyapanya. adapun jika ada yang memeroleh sekeping kemanfaatan, bahkan mungkin sejumput berkah, tentu itu bukan wilayah penyair dan puisi-puisinya.
Daftar puisi:
Patigeni
Tukang Potong; Perempuan Bertubuh Ombak; Luka Adammakna; Percakapan Taman; Khidr; Siwalan Perawan; Obat Hati; Munajat Buaya Darat; Leaki yang Menggali Kuburnya Sendiri; Aku Bangun Kubah di Lembahmu; Patigeni; Malaikat Rangkap; Jejaring; Suara Mendaki; Kemarin; Ladang Pengantin; Hari; Lorong Tak Berujung; Puisi yang Sama; Tanjung Cintaku; dan Gaung Kedung.
Penjantan Matahari
Meja Perjamuan; Sihir Pesisir; Ke Dinding; Kesabaran Abad; Laut yang Cidera; Kupu; Amsal Gulma; Perempuan Laut; Rindu Bidadari; Yang Terkubur Laut; Jelaga; Cucu Tarub; Bintang Jatuh di Hatiku; Sepanjang Tubuh; Hujan; Pejantan Matahari; Peta Hati; Rol; Imaji Bebuahan; Hati Gunung; dan Kitab Perempuan.
Asmarasupi
Darah Hitam; Buku Masa Lalu; Kerudung Bergambar Ular; Bulu Burung; Nujum Maut; Surat Malaikat; Tebing Kuda Lumping; Dadar Rembulan; Kahyangan Api; Ziarah Matahari; Sesat Sesaat; Hantu Lempung; Luka Laut; Belukar Langit; Asmarasupi; Ziarah ke Sintal Pinggulmu; Ciuman Gula Merah; Mantram Kolam; Ilusi Musim; Cenayang Dermaga; dan Berkah Gravitasi.
*