12 Juni 2017

Jalan Kepiting


Bibliografi antologi puisi:
Umar Fauzi Ballah. 2012. Jalan Kepiting (himpunan puisi). Surabaya: Amper Media.



himpunan puisi ini adalah buku perdana dari proses panjang kepenyairan. setelah melalui pasang surut kreativitas, dibukukanlah puisi-puisi ini dalam rentang 2007-2011. membuat buku bukan soal gagah-gagahan sehingga merasa perlu mempertimbangkan segala sesuatunya, terutama gagasan kreativitas. membukukan puisi ini penting dalam rangka melihat tolok ukur kreativitas selanjutnya.



Daftar puisi:

Talak dengan Hujan; Mati Suri; Mata; Pasar; Jalan Kepiting; Kemuning; Rasi; Biji Mimpi; Dermaga: Frame; Penjaga Malam; Hasrat Hujan; Cacing Tanah; Menjelang; Keroncong; Rabiah; Tanah; Hutan; Echo; Petak; dan Setelah Hujan.

*

Sepasang Bibirmu Api


Bibliografi antologi puisi:
Ferdi Afrar. 2012. Sepasang Bibirmu Api (kumpulan puisi). Sidoarjo: Sarbikita Publishing.



antologi puisi Sepasang Bibirmu Api karya Ferdi Afrar perlu mendapat atensi dan apresiasi di dalam dunia kesusastraan Indonesia. banyak penyair muda sebagai rookie yang bertebaran di daun-daun kota dan di akar-akar desa. mereka adalah generasi muda yang patut dicermati. mereka membawa belati yang sanggup merobek tabir kepengapan sajak-sajak jemu dan basi. Ferdi mulai merajut namanya pada sebuah prasasti kesusastraan Indonesia. ia membuktikan bahwa dia sedang bergerak di atas biduk dengan mengikuti arus. namun, ia memunyai arus sendiri yang bergerak perlahan menuju muara yang masih berwujud sebongkah misteri yang ingin ia dedahkan. Sepasang Bibirmu Api mengangkat arus cinta yang tenang dari dalam hati sang penyair. memang ada beberapa kilatan riak yang menggelora, namun selebihnya adalah derap hanyut yang perkasa. Ferdi menunjukkan bahwa 20 puisi di antara 36 puisinya adalah puisi-puisi yang diawali dengan kata “kekasihku…” dan seluruh puisi-puisi tersebut bertema cinta terhadap seorang perempuan yang dicintainya. semangat untuk menuangkan kata-kata di dalam antologi ini adalah sebuah persembahan untuk seseorang. hasrat, pilu, kecewa, dan ragu adalah api yang menyala di sebagian besar kisah-kisahnya. ia menuangkan tema-tema tersebut menjadi puisi-puisi sebagai proses pelepasan resah yang mesti dilakukan. di satu sisi, pelepasan tersebut menjadi sebuah monumen cinta sebagai bentuk nyata yang bisa ia persembahkan untuk kekasih.



Daftar puisi:

Pertemuan
Taman Rahasia; Pertemuan; Momok; Pantai; Kabut; Coban; Luas; Pintu; dan Sejenak.

Mencatat Rindu
Tebak-tebakkan; Halma; Biji; Khotbah; Ular Tangga; Layang-layang; Berjoget Dangdut; Mencatat Rindu; dan Cerita dari Blaser Hitam.

Kau Selalu Menyebut
Kekasihku; Sajak-sajak Kita; Sepasang Bibirmu; Kisah Om No, Aku, dan Keraguanmu; Kekasihku yang Lain; Kau Selalu Menyebut di Meja Rias Itu Ada Aku; Memotretmu; Memotretmu II; dan 14 Februari.

Catatan Kemelut
Api; Menangislah Batu; Diam; Sepasang Kekasih, Saling Mencuri; Ucapan Selamat Tidur Buatmu; Selamat Datang Sepi; Setelah Hujan; Yang Pernah Singgah di Kepala Kita; dan Catatan Kemelut.


*

Jantung Lebah Ratu


Bibliografi antologi puisi:
Nirwan Dewanto. 2008. Jantung Lebah Ratu (himpunan puisi). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.



setiap kali melihat “puisi bebas”, susut nyali kita membacanya. kita khawatir akan berhadapan dengan kalibut kata dan kalimat yang tak bisa kita cerna untuk sekadar beroleh kenikmatan kata dan bahasa, apalagi makna, jika ada. menghadapi Jantung Lebah Ratu Nirwan Dewanto, kekhawatiran kita sirna: puisi Indonesia masih kuasa menyajikan kenikmatan bahasa dan membuka cakrawala makna. di dalamnya kita temukan lagi kekayaan bentuk puisi – pantun, gurindam, haiku – dengan kecermatan rima dan birama, dan kelincahan berututur. pada sebagian yang lain, si penyair mengulur alur panjang, sambil tetap awas memilih kata dan memilin kalimat. ia suntuk menggali kekayaan kosakata, menghidupkan berbagai jenis flora-fauna, meluputkan diri dari jebakan permainan bunyi atau metafor yang kedaluwarsa. si penyair tak sekadar memperlakukan kebebasan sebagai preskripsi bagi penciptaan puisi, tapi justru menerimanya sebagai konsekuensi yang menuntut nyali untuk menentukan batas gelanggang kebebasannya sendiri.

sajak-sajak Nirwan bukan teka-teki, melainkan sehamparan momen estetika. jadi, sebelum hilang pertanyaan kita, tiba-tiba kita menjelma simbol, melebur dalam imaji-imaji yang dibangunnya, merasakan gejolak hasrat yang memicunya, meledak dalam warna-warni, kemudian susut kembali menjadi ubur-ubur, gerabah, gong, atau seonggok kata, dan pertanyaan-pertanyaan baru. intertekstualitas puisi Nirwan merambah dunia, dari Ratna Manggali ke Brancusi, dari Isfahan ke taman pasir Ryoanji, dan mengaduk berbagai acuan budaya menjadi semesta baru – Siwa dan salib, merah Mao dan Marilyn Monroe. tapi sejauh manapun makna berkelana, setiap sajak ini tak urung menariknya kembali pada dirinya sendiri. Jantung Lebah Ratu merengkuh berbagai tradisi perpuisian – sinestesia, permainan tipologi, pantu, dan prosa liris, misalnya – untuk memperluas potensi kata, sensai imajinasi, dan nuansa makna.

dalam himpunan puisi ini, kita bersentuhan bukan saja dengan seorang penyajak biasa, tapi juga pelukis, mungkin malah pematung, yang bekerja dengan kata dan tubuh sekaligus. ia bukan sekadar mengatakan, tetapi juga melukis atau menatah benda-benda biasa, juga peristiwa, yang berserakan di sekitaran. kerapkali malah ia tak melukis benda-benda dan peristiwa itu; mereka justru melukis dirinya sendiri via si penyajak. ia berikhtiar tak menjadi semacam pusat bagi benda-benda dan peristiwa yang ia lukis. sebaliknya, ia membiarkan mereka mengalir lewat tubuhnya, menjadi sebentang sajak yang ia sebut sendiri mirip sebuah cangkang telur yang putih dan kabur. setiap sajak menantang kita terus membacanya lagi dan lagi; setiap kali senantiasa mengejutkan kita dengan penglihatan baru.



Daftar puisi:

Kantung Kesatu: Biru Kidal
Perenang Buta; Kunang-kunang; Cumi-cumi; Gerabah; Daun Bianglala; Gong; Apel; Torso Pualam; Harimau; Semu; Ular; Akuarium; Kucing Persia; Ubur-ubur; dan Anjing Kidal.

Kantung Kedua: Kuning Silam
Lonceng Gereja; Semangka; Nanas dari Roraima; Gandrung Campuhan; Sarapan di Undak Sayan; Madah Merah; Putri Malu; Kancing Gaya Lama; Kain Sigli; Mantra Bungsu; Kroncong Tenggara; Dua Belas Kilas Musim Gugur; Tukang Kebun; Di Restoran Turki; dan Mawar Terjauh.

Kantung Ketiga: Merah Suam
Burung Merak; Pengantin Remaja; Blues; Boogie Woogie; Kopi; Garam; Fajar di Galena; Bubu; Lebah Ratu; Tiga Biola Juan Gris; Bayonet; Selendang Sutra; Lembu Jantan; Peniti Tali; Burung Hantu; dan Keledai.

*