12 Juni 2017

Jalan Kepiting


Bibliografi antologi puisi:
Umar Fauzi Ballah. 2012. Jalan Kepiting (himpunan puisi). Surabaya: Amper Media.



himpunan puisi ini adalah buku perdana dari proses panjang kepenyairan. setelah melalui pasang surut kreativitas, dibukukanlah puisi-puisi ini dalam rentang 2007-2011. membuat buku bukan soal gagah-gagahan sehingga merasa perlu mempertimbangkan segala sesuatunya, terutama gagasan kreativitas. membukukan puisi ini penting dalam rangka melihat tolok ukur kreativitas selanjutnya.



Daftar puisi:

Talak dengan Hujan; Mati Suri; Mata; Pasar; Jalan Kepiting; Kemuning; Rasi; Biji Mimpi; Dermaga: Frame; Penjaga Malam; Hasrat Hujan; Cacing Tanah; Menjelang; Keroncong; Rabiah; Tanah; Hutan; Echo; Petak; dan Setelah Hujan.

*

Sepasang Bibirmu Api


Bibliografi antologi puisi:
Ferdi Afrar. 2012. Sepasang Bibirmu Api (kumpulan puisi). Sidoarjo: Sarbikita Publishing.



antologi puisi Sepasang Bibirmu Api karya Ferdi Afrar perlu mendapat atensi dan apresiasi di dalam dunia kesusastraan Indonesia. banyak penyair muda sebagai rookie yang bertebaran di daun-daun kota dan di akar-akar desa. mereka adalah generasi muda yang patut dicermati. mereka membawa belati yang sanggup merobek tabir kepengapan sajak-sajak jemu dan basi. Ferdi mulai merajut namanya pada sebuah prasasti kesusastraan Indonesia. ia membuktikan bahwa dia sedang bergerak di atas biduk dengan mengikuti arus. namun, ia memunyai arus sendiri yang bergerak perlahan menuju muara yang masih berwujud sebongkah misteri yang ingin ia dedahkan. Sepasang Bibirmu Api mengangkat arus cinta yang tenang dari dalam hati sang penyair. memang ada beberapa kilatan riak yang menggelora, namun selebihnya adalah derap hanyut yang perkasa. Ferdi menunjukkan bahwa 20 puisi di antara 36 puisinya adalah puisi-puisi yang diawali dengan kata “kekasihku…” dan seluruh puisi-puisi tersebut bertema cinta terhadap seorang perempuan yang dicintainya. semangat untuk menuangkan kata-kata di dalam antologi ini adalah sebuah persembahan untuk seseorang. hasrat, pilu, kecewa, dan ragu adalah api yang menyala di sebagian besar kisah-kisahnya. ia menuangkan tema-tema tersebut menjadi puisi-puisi sebagai proses pelepasan resah yang mesti dilakukan. di satu sisi, pelepasan tersebut menjadi sebuah monumen cinta sebagai bentuk nyata yang bisa ia persembahkan untuk kekasih.



Daftar puisi:

Pertemuan
Taman Rahasia; Pertemuan; Momok; Pantai; Kabut; Coban; Luas; Pintu; dan Sejenak.

Mencatat Rindu
Tebak-tebakkan; Halma; Biji; Khotbah; Ular Tangga; Layang-layang; Berjoget Dangdut; Mencatat Rindu; dan Cerita dari Blaser Hitam.

Kau Selalu Menyebut
Kekasihku; Sajak-sajak Kita; Sepasang Bibirmu; Kisah Om No, Aku, dan Keraguanmu; Kekasihku yang Lain; Kau Selalu Menyebut di Meja Rias Itu Ada Aku; Memotretmu; Memotretmu II; dan 14 Februari.

Catatan Kemelut
Api; Menangislah Batu; Diam; Sepasang Kekasih, Saling Mencuri; Ucapan Selamat Tidur Buatmu; Selamat Datang Sepi; Setelah Hujan; Yang Pernah Singgah di Kepala Kita; dan Catatan Kemelut.


*

Jantung Lebah Ratu


Bibliografi antologi puisi:
Nirwan Dewanto. 2008. Jantung Lebah Ratu (himpunan puisi). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.



setiap kali melihat “puisi bebas”, susut nyali kita membacanya. kita khawatir akan berhadapan dengan kalibut kata dan kalimat yang tak bisa kita cerna untuk sekadar beroleh kenikmatan kata dan bahasa, apalagi makna, jika ada. menghadapi Jantung Lebah Ratu Nirwan Dewanto, kekhawatiran kita sirna: puisi Indonesia masih kuasa menyajikan kenikmatan bahasa dan membuka cakrawala makna. di dalamnya kita temukan lagi kekayaan bentuk puisi – pantun, gurindam, haiku – dengan kecermatan rima dan birama, dan kelincahan berututur. pada sebagian yang lain, si penyair mengulur alur panjang, sambil tetap awas memilih kata dan memilin kalimat. ia suntuk menggali kekayaan kosakata, menghidupkan berbagai jenis flora-fauna, meluputkan diri dari jebakan permainan bunyi atau metafor yang kedaluwarsa. si penyair tak sekadar memperlakukan kebebasan sebagai preskripsi bagi penciptaan puisi, tapi justru menerimanya sebagai konsekuensi yang menuntut nyali untuk menentukan batas gelanggang kebebasannya sendiri.

sajak-sajak Nirwan bukan teka-teki, melainkan sehamparan momen estetika. jadi, sebelum hilang pertanyaan kita, tiba-tiba kita menjelma simbol, melebur dalam imaji-imaji yang dibangunnya, merasakan gejolak hasrat yang memicunya, meledak dalam warna-warni, kemudian susut kembali menjadi ubur-ubur, gerabah, gong, atau seonggok kata, dan pertanyaan-pertanyaan baru. intertekstualitas puisi Nirwan merambah dunia, dari Ratna Manggali ke Brancusi, dari Isfahan ke taman pasir Ryoanji, dan mengaduk berbagai acuan budaya menjadi semesta baru – Siwa dan salib, merah Mao dan Marilyn Monroe. tapi sejauh manapun makna berkelana, setiap sajak ini tak urung menariknya kembali pada dirinya sendiri. Jantung Lebah Ratu merengkuh berbagai tradisi perpuisian – sinestesia, permainan tipologi, pantu, dan prosa liris, misalnya – untuk memperluas potensi kata, sensai imajinasi, dan nuansa makna.

dalam himpunan puisi ini, kita bersentuhan bukan saja dengan seorang penyajak biasa, tapi juga pelukis, mungkin malah pematung, yang bekerja dengan kata dan tubuh sekaligus. ia bukan sekadar mengatakan, tetapi juga melukis atau menatah benda-benda biasa, juga peristiwa, yang berserakan di sekitaran. kerapkali malah ia tak melukis benda-benda dan peristiwa itu; mereka justru melukis dirinya sendiri via si penyajak. ia berikhtiar tak menjadi semacam pusat bagi benda-benda dan peristiwa yang ia lukis. sebaliknya, ia membiarkan mereka mengalir lewat tubuhnya, menjadi sebentang sajak yang ia sebut sendiri mirip sebuah cangkang telur yang putih dan kabur. setiap sajak menantang kita terus membacanya lagi dan lagi; setiap kali senantiasa mengejutkan kita dengan penglihatan baru.



Daftar puisi:

Kantung Kesatu: Biru Kidal
Perenang Buta; Kunang-kunang; Cumi-cumi; Gerabah; Daun Bianglala; Gong; Apel; Torso Pualam; Harimau; Semu; Ular; Akuarium; Kucing Persia; Ubur-ubur; dan Anjing Kidal.

Kantung Kedua: Kuning Silam
Lonceng Gereja; Semangka; Nanas dari Roraima; Gandrung Campuhan; Sarapan di Undak Sayan; Madah Merah; Putri Malu; Kancing Gaya Lama; Kain Sigli; Mantra Bungsu; Kroncong Tenggara; Dua Belas Kilas Musim Gugur; Tukang Kebun; Di Restoran Turki; dan Mawar Terjauh.

Kantung Ketiga: Merah Suam
Burung Merak; Pengantin Remaja; Blues; Boogie Woogie; Kopi; Garam; Fajar di Galena; Bubu; Lebah Ratu; Tiga Biola Juan Gris; Bayonet; Selendang Sutra; Lembu Jantan; Peniti Tali; Burung Hantu; dan Keledai.

*

6 Mei 2017

Petarung Kidal




Bibliografi antologi puisi:
Dody Kristianto. 2013. Petarung Kidal. Surabaya: Festival Seni Surabaya (FSS) bekerja sama dengan Satukata dan Amper Media.



Tjahjono Widarmanto memberi ulasan bahwa Dody Kristianto tampaknya memiliki ingatan – bawah sadar atau sadar – tentang dunia persilatan. tampaknya ia memiliki kegemaran membaca cerita-cerita silat atau komik-komik silat, baik yang ditulis berlatar Cina maupun yang berlatar dalam negeri. sangat mungkin pula Dody juga praktisi silat yang bertahun-tahun menekuni dunia pencak sehingga tradisi pencak silat itu berurat akar di dunia bawah sadarnya dan diam-diam suatu saat tiba-tiba nylonong dalam proses berpuisinya.

adalah sebuah ketidaksengajaan jika saya seperti juga Dody gandrung pada cerita silat. semua cerita silat – juga silat itu sendiri – selalu mengambil setting masa lampau; bagian yang tak terpisahkan dari masa lalu! selalu tak terduga, tak bernalar, dan selalu memberi tempat pada sesuatu yang irasional seperti wangsit, laku, kekuatan yang tak kasat mata. sesuatu yang tak terduga dan tak bernalar, yang selalu menjadi ciri masa lalu itulah yang “mengikat” cerita silat (juga silatnya) dengan para pembacanya (pun praktisinya!).

penulis dan pembaca cerita silat selalu terpesona masa lalu. demikian juga ketakjuban mereka akan jurus-jurus silat yang dimainkan para tokoh yang juga sangat imajinatif seimajinatif para tokohnya. imajinasi yang muncul itu begitu menghibur, tak soal masuk di akal atau muskil. justru ketidakmasukakalan inilah semakin menanamkan imajinasi di benak pembacanya. dan, Dody Kristianto, dengan sangat kreatif memunculkan ingatan kita pada imajinasi atas ketertakjuban pada keperkasaan jurus-jurus itu. sesungguhnya, Dody Kristianto sedang meneruskan tradisi para sastrawan silat, meneruskan tradisi para empu, mengembangkan tradisi para suhu yang menuliskan kembali ingatan-ingatan tentang sebuah tradisi yang dibesarkan dan diberi tempat rakyat kecil.

dalam ilmu bersilat dan berpencak, tak hanya dikenal jurus belaka, namun di balik itu ada filosofi, ajaran, pedoman hidup, bahkan ritual yang dianggap sakral. sajak-sajak Dody cukup berhasil menampakkan filosofi itu. silat dengan jurus dan tentu saja dengan muatan falsafahnya (ajaran, petuah) merupakan salah satu dari memori masa lampau dalam Dody. dan, bukan sesuatu yang mustahil bila tiba-tiba bangkit (atau sengaja dibangkitkan) dengan pengungkapan yang berbeda. sajak-sajak Dody menampakkan hal yang serupa. memori masa lampau tentang persilatan yang pernah direkamnya bangkit kembali dan menjadi bentuk ekspresi estetika sajak-sajaknya, memunculkan puitika baru yang belum pernah digarap penyair lain.

situasi yang jungkir balik, yang tak menentu dalam kehidupan sosial politik kita saat ini, membutuhkan kehadiran seorang jago silat. jago silat adalah pendekar yang mumpuni dalam olah kanuragan dan olah kajiwan, yang tak pernah gentar menghadapi apa atau siapa pun. yang tak pernah silau mengarungi situasi apa pun karena yakin berada di pihak yang benar. dalam urusan resmi yang terkait politik dan birokrasi, atau tiran penindasan, jago silat tampil sebagai hero yang bertindak cepat tanpa pamrih. prestasinya sebagai juru atawa pendekar silat dicapainya dengan taruhan apa saja; mengorbankan diri, mengorbankan pacar, istri atau bahkan saudara-saudara seperguruannya. juga segala risiko apa pun akan ditempuhnya, seperti bertapa, menyiksa diri, berlatih keras dan sakit, semua akan ditempuhnya demi tujuan mulia: jadi pendekar kebenaran. seorang pendekar tak pernah berpihak pada apa pun dan siapa pun, tak pernah mengikatkan diri pada darah, keturunan, korps, apalagi duit. dia hanya akan berpihak pada golongan yang benar dan memproklamirkan diri untuk melawan segala golongan hitam yang sesat.

dunia bawah sadar Dody Kristianto tampaknya merindukan hero; sang pendekar itu. di tengah zaman yang penuh gebalau kemerosotan sosial, ekonomi, ketidakadilan, dan politik yang tak kunjung padam dan yang belum jelas benar siapa yang sanggup menemukan solusinya (mungkin juga segala persoalan personalnya, konflik batinnya), ia merindukan seorang pendekar yang bisa menuntaskan segala soal itu. karena Dody seorang penyair, ia tak memunculkan kehadiran pendekar itu sebagai sebuah kisah, namun memunculkannya dalam sajak-sajaknya berbagai jurus yang dahsyat. bahkan, ia mengimajinasikan dirinya sendiri sebagai sang pendekar itu, sang jawara yang “memungkasi” segala persoalan sosial dan personalnya. jadilah ia pendekar tak terkalahkan melawan “entahlah” dalam sajak-sajaknya.



Daftar puisi:

Sebelum Bertentang
Sebelum Bertentang dan Melatih Pukulan Kidal.

Mengamati Beberapa Jurus
Jurus Semburan Ular; Gerak Elang Mengelak; Jurus Penangkis Macan; Pencak Walang; Mengamati Tiga Jurus; Kunyuk Melempar Buah; dan Meyakini Bangau Ngantuk.

Memasuki Gelanggang
Tendangan Tanpa Bayangan; Langkah Penjinak Pedang; Menjajal Pohon; Di Depan Petarung Tanggung; Perihal Pencak Mabok; Langgam Tangan Hampa; dan Membalik Cakaran.

Tarung Tak Teraran
Membalik Arah Angin; Tapak Pemecah Angin; Jurus Terjauh; Memasuki Alam Tubuh; Mengumpulkan Tenaga Dalam; Kelihaian Tubuh Api; dan Tarung Tenung.

Sekian Hikayat Tarung
Memendam Jawara; Membangkitkan Pesilat Kadal; Menantang Sang Badra; dan Tentang Tarung Terakhir.

*

26 April 2017

Munajat Buaya Darat


Bibliografi antologi puisi:
Mashuri. 2013. Munajat Buaya Darat (Kitab Puisi). Yogyakarta: Gress Publishing.



menulis adalah sebuah kebutuhan. tak peduli jargon sebagian orang yang menganggap akhir romantik peran penyair, juga ihwal zaman yang cenderung anti-puisi, bahkan pada dogma mereka yang masih bersikukuh dengan tugas kepenyairan dengan terus mengibarkan tanggung jawab penyair pada dunia dan nasib kemanusiaan. tanpa menulis puisi, rasanya ada yang hilang dan butuh itu untuk menambal yang tanggal tersebut. tentu tak bisa abai pada kewajiban – semacam tanggung jawab profesi –, tetapi kewajiban itu berjalan bersama puisi-puisi.

tak setiap saat puisi hadir sehingga tak setiap saat menjadi “penyair”. puisi kerap kali mengembara karena ia kadang serupa udara yang bergerak bebas meski di dalam diri sudah menyiapkan ruang bermain, pikatan, tempat nan indah agar ia mau diam di sana, bahkan berdiwana di jiwa. ia hanya mau datang ketika diundang dengan ikhtiar tertentu atau tergetar atau tergoda ketika berhadapan dengan hal-ihwal atau peristiwa yang mengusik rasa kemanusiaan meski sepele dan remeh-temeh. karena itu, ada pengakuan diri sebagai penyair jadi-jadian sebagaimana harimau jadi-jadian yang tidak setiap saat menjadi harimau kecuali jika ruh harimau merasukinya. pada saat puisi hadir, jadilah “penyair”. selebihnya bukan siapa-siapa.

kerap juga kita menjadi pembaca puisi sendiri, belajar darinya dan pada saat tertentu juga bertukar-tengkar dengannya. puisi seringkali lebih cerdas dan lebih menggemaskan. dalam posisi tersebut ada kewajiban berendah hati untuk memasu sekian pengalaman darinya. kita merasa telah demikian dihargai dengan kehadiran puisi-puisi itu meski tidak setiap saat, meski harus sabar menunggu dan bersiap dengan menggali kenaifan diri, beredar dalam sekian pengalaman, dan tak lelah membaca berbagai gelaran baik yang tersurat maupun tersirat.

dari kerja itu, tak semua puisi lahir menjadi tulisan yang matang, bahkan kadang setengah matang, seringkali malah mentah. beberapa yang matang atau setengah matang terkumpul dalam buku-buku puisi ini, buku-buku kumpulan karya bersama, tersiar di media massa, ngendon di surat undangan pernikahan sahabat, sementara itu terdapat ratusan bakal puisi yang tertinggal di kertas-kertas yang telah lenyap karena dilalap banjir dan disantap rayap, SMS pada kekasih yang sudah terhapus, status di jejaring sosial yang tertimbun status baru, dan tilas lainnya.

sebagaimana nukilan di awal, menulis puisi adalah kebutuhan, tetapi puisi tetaplah puisi. ia tidak hadir dari langit kekosongan belaka. ia pun tak mudah dikotak dalam sebuah tempat yang rapat dan kedap suara. jika di antara pembaca, ada yang bersua, bahkan mungkin akrab, dengan puisi-puisi ini, tentu itu karena kemurahan pembaca yang telah meluangkan waktu untuk menyapanya. adapun jika ada yang memeroleh sekeping kemanfaatan, bahkan mungkin sejumput berkah, tentu itu bukan wilayah penyair dan puisi-puisinya.



Daftar puisi:

Patigeni
Tukang Potong; Perempuan Bertubuh Ombak; Luka Adammakna; Percakapan Taman; Khidr; Siwalan Perawan; Obat Hati; Munajat Buaya Darat; Leaki yang Menggali Kuburnya Sendiri; Aku Bangun Kubah di Lembahmu; Patigeni; Malaikat Rangkap; Jejaring; Suara Mendaki; Kemarin; Ladang Pengantin; Hari; Lorong Tak Berujung; Puisi yang Sama; Tanjung Cintaku; dan Gaung Kedung.

Penjantan Matahari
Meja Perjamuan; Sihir Pesisir; Ke Dinding; Kesabaran Abad; Laut yang Cidera; Kupu; Amsal Gulma; Perempuan Laut; Rindu Bidadari; Yang Terkubur Laut; Jelaga; Cucu Tarub; Bintang Jatuh di Hatiku; Sepanjang Tubuh; Hujan; Pejantan Matahari; Peta Hati; Rol; Imaji Bebuahan; Hati Gunung; dan Kitab Perempuan.

Asmarasupi
Darah Hitam; Buku Masa Lalu; Kerudung Bergambar Ular; Bulu Burung; Nujum Maut; Surat Malaikat; Tebing Kuda Lumping; Dadar Rembulan; Kahyangan Api; Ziarah Matahari; Sesat Sesaat; Hantu Lempung; Luka Laut; Belukar Langit; Asmarasupi; Ziarah ke Sintal Pinggulmu; Ciuman Gula Merah; Mantram Kolam; Ilusi Musim; Cenayang Dermaga; dan Berkah Gravitasi.

*

22 April 2017

Aku Ini Binatang Jalang


Bibliografi antologi puisi:
Chairil Anwar. 2009. Aku Ini Binatang Jalang (Koleksi Sajak 1942-1949). Cetakan keduapuluh satu. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.



Sapardi Djoko Damono memberi testimoni bahwa "aku mau hidup seribu tahun lagi" ditulis saat sang penyair berusia 20 tahun. 6 tahun berikutnya ia meninggal dunia. beberapa larik puisinya telah menjelma semacam pepatah atau kata-kata mutiara. ia terkenal sebagai penyair yang memiliki vitalitas sekaligus kejalangan. ciri senimannya pun muncul seperti tidak memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan.

sajak-sajak yang ditulis menjelang kematiannya menunjukkan sikap hidup yang matang dan mengendap meskipun umurnya baru 26 tahun. ia memang dianggap memainkan peranan menentukan dalam perkembanban sastra. ia tumbuh di zaman yang sangat ribut, menegangkan, dan bergerak cepat. peristiwa-peristiwa penting susul-menyusul. untuk pertama kalinya sejak dijajah Belanda, negeri ini membukakan diri lebar-lebar terhadap segala macam pengaruh dari luar. pemuda yang pendidikan formalnya tidak sangat tinggi ini harus menghadapi serba pengaruh itu. ia pun tidak hanya mengenal para sastrawan Belanda yang dicantumkan dalam pelajarn sekolah, tetapi juga membaca karya sastrawan sezaman dari Eropa dan Amerika.

seperti perubahan yang sangat cepat di sekelilingnya, Chairil Anwar pun tumbuh sangat cepat dan raganya layu dengan cepat pula. ketika meninggal dunia, mungkin sekali ia sudah berada di puncak kepenyairannya. tetapi, mungkin juga ia masih akan menghasilkan sajak-sajak yang lebih unggul lagi seandainya dia hidup lebih lama. beberapa sajaknya yang terbaik menunjukkan bahwa ia telah bergerak begitu cepat ke depan. bahkan bagi banyak penyair masa kini, taraf sajak-sajaknya tersebut bukan merupakan masa lampau tetapi masa depan yang mungkin hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat, dan kecerdasan yang tinggi. sudah sejak semula ia dinilai sebagai penyair penting atau terbesar, setidaknya sesudah Perang Dunia 2. dalam kedudukan demikian, sikapnya berkesenian tentu bisa berpengaruh terhadap pandangan kesenian bangsa. bagaimanapun, ia tampil lebih menonjol sebagai sosok yang penuh semangat hidup dan sikap kepahlawanan.



Daftar puisi:

1942
Nisan dan Penghidupan.

1943
Diponegoro; Tak Sepadan; Sia-sia; Ajakan; Sendiri; Pelarian; Suara Malam; Aku (Semangat); Hukum; Taman; Lagu Biasa; Kupu Malam dan Biniku; Penerimaan; Kesabaran; Perhitungan; Kenangan; Rumahku; Hampa; Kawanku dan Aku; Bercerai; Aku; Cerita; Di Mesjid; Selamat Tinggal; Mulutmu Mencubit di Mulutku; Dendam; Merdeka; Kita Guyah Lemah; Jangan Kita di Sini Berhenti; 1943; Isa; dan Doa.

1944
Sajak Putih; Dalam Kereta; dan Siap-Sedia.

1945
Kepada Penyair Bohang; Lagu Siul; dan Malam.

1946
Sebuah Kamar; Kepada Pelukis Affandi; Dengan Mirat; Catetan Th. 1946; Buat Album D. S.; Nocturno (fragment); Cerita buat Dien Tamaela; Kabar Dari Laut; Senja di Pelabuhan Kecil; Cintaku Jauh di Pulau; "Betina"-nya Affandi; Situasi; Dari Dia; Kepada Kawan; dan Pemberian Tahu.

1947
Sorga; Sajak buat Basuki Resobowo; Dua Sajak buat Basuki Resobowo; Malam di Pegunungan; dan Tuti Artic.

1948
Perseteruan dengan Bung Karno; Sudah Dulu Lagi; Ina Mia; Perjurit Jaga Malam; Puncak; Buat Gadis Rasid; dan Selama Bulan Menyinari Dadanya.

1949
Mirat Muda, Chairil Muda; Buat Nyonya N.; Aku Berkisar antara Mereka; Yang Terempas dan Yang Putus; Derai-derai Cemara; dan Aku Berada Kembali.

Sajak-sajak Saduran
Kepada Peminta-minta dan Krawang-Bekasi.

*

4 April 2017

Lalu Aku


Bibliografi antologi puisi:
Radhar Panca Dahana. 2011. Lalu Aku (Sekumpulan Puisi). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.



sajak-sajak di antologi ini dibagi menjadi tiga babak. babak pertama berjuluk Lalu Aku dengan muatan 17 sajak. babak kedua berjuluk Lalu Kau dengan muatan 14 sajak. babak terakhir berjuluk Lalu Akukau dengan muatan 14 sajak. sajak-sajak tersebut dilahirkan pada rentang tahun 2000 hingga 2010. di dalam bukunya beliau berkata bahwa "... kata harus ditemukan kembali. kata tidak selalu menjadi daratan yang statis, diam, dan tak bergerak. mungkin ia lautan yang senantiasa bergejolak, pergi-pulang, tiada henti. kata harus menemukan dirinya, yang tak lain menemukan manusia yang telah meninggalkan dan ia tinggalkan. maka, berkatalah. bukan hanya untuk mengerti tapi untuk menjadi. susunlah kata-kata hingga ia menjadi hidup yang berwaktu dan bercinta. susunlah ia jadi puisi sehingga ia memanusiakan kamu, sebagaimana sejarah waktu ada padamu, sejarah cinta membentukmu". beliau juga berkata, "biarlah puisi bergerak tiada henti, dan mayat manusia bangkit dari kubur adabnya. puisi akan menemukan dan menghidupkan manusia kembali. bagi yang terlena, yang mayat dalam kata-katanya, yang tak menggerakkan jiwa atau spirit manusia, yang tidak membongkar adab beserta fitnah dan tipuannya, yang terjebak dalam daratan yang membatu, ia akan menemui selalu puisi yang gagal, dalam hatinya yang beku".



Daftar puisi:

Lalu Aku
Sebut Namaku: Segera; Setan-Malaikat, Aku Menujumu; Tidur Aku Tidur Selalu; Dunia Fantasi; Hari Penghabisan Itu; Lidah Tak Bertahta; Lubang Pahlawan Bertubuh Aspal; Alam Adam Memfitnah Malam; Lelaki Sunyi Sendiri; Laluaku; Rumahku; Kamartamuku; Toiletku; Dapurku; Kantorku; Lotengku; dan Lautmati Tidurku.

Lalu Kau
Lelaki Tua Stasiun Kota; Yang Mati Sesore Bumi; Panggung Tuamu, Sobatku; Sisa Sore di Daster Misna; Batubara Menggeser Waktu, Acehku; Ragukan Aku Tanpa Ragu; Semangkuk Mi; Rahasia Masa; Aku Mencintaimu; Seindah Itukah Kamu?; Batu dan Seekor Ikan; Ibu yang Baik; Api Doy Menuju Gowa; dan Lenggokmu, Lenggok Waktuku.

Lalu Akukau
Akumu di Membran Waktu; Segala Cukup bagi Segala; Dunia Jembar Lidah Bergetar; Senjata Malam; Iblislah Nafsu; Iblislah Kamu; Televisi, Awal Subuh; Perawan di Balik Gunung; Celana Dalam; Dari Cinta yang Sederhana; Sebutir Kata dan Tempat Tidur; Pisau Kecil Pingkan Mambo; Hak; dan Mendengar.

*

2 Februari 2017

O Amuk Kapak



Bibliografi antologi puisi:
Sutardji Calzoum Bachri. 2002. O Amuk Kapak (Tiga Kumpulan Sajak). Cetakan kedua. Jakarta Timur: Yayasan Indonesia dan Majalah Horison.




buku ini merupakan kumpulan puisi dari tiga buku yaitu O (1973), Amuk (1977), dan Kapak (1979). sebagai penyair, Sutardji sudah menjadi bagian dari khazanah sastra Indonesia. ia menjadi salah satu ikon penting dalam perpuisian Indonesia. sajak-sajaknya telah dikutip dan diambil untuk beragam kepentingan mulai dari tulisan ilmiah hingga demonstrasi politik. bahkan, sajak-sajaknya disablonkan pada kaus anak-anak muda dan mahasiswa. kehadirannya dalam perpuisian Indonesia sangat menghebohkan dan memancing pro-kontra. berturut-turut lahir kumpulan sajaknya O, Amuk, dan kemudian Kapak. ketiga kumpulan sajaknya itu kemudian diterbitkan secara lengkap di bawah judul O, Amuk, Kapak. buku ini telah menjadi klasik dan dijadikan kajian dalam studi sastra di Fakultas Sastra atau Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra di seluruh Indonesia.

ia pernah berkata bahwa kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. kata adalah pengertian itu sendiri. dia bebas. dalam kesehari-harian kata cenderung digunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian. kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri. di kesempatan lain ia juga berkata, “menyair adalah suatu pekerjaan yang serius. namun penyair tidak harus menyair sampai mati. dia boleh meninggalkan kepenyairannya kapan saja. tapi bila kau sedang menuliskan sajak, kau harus melakukannya secara sungguh-sungguh, seintens mungkin, semaksimal mungkin. kau harus melakukan pencarian-pencarian, kau harus mencari dan menemukan bahasa. yang tidak menemukan bahasa takkan pernah disebur penyair.



Daftar puisi:

O (Sajak-sajak 1966-1973)
Kredo Puisi; Ah; Mana Jalanmu; Mantera; Dapatkau?; Batu; Colonnes Sans Fin; Mari; Jadi; Puake; Pot; Herman; O; Daun; Biarkan; Solitude; Tragedi Winka & Sihkha; Q; Apa Kautahu?; Sculpture; Hilang (Ketemu); Obladi Oblada; Hyang; Kakekkakek & Bocahbocah; Ngiau; Hyang Tak Jadi; Malam Pengantin; dan Orang yang Tuhan.

Amuk (Sajak-sajak 1973-1976)
Amuk; Sudah Waktu; Denyut; Shang; Mesin Kawin; Sepisaupi; Kucing; Tik; Tapi; Sejak; Pil; Tangan; Tak; Luka; dan Kalian.

Kapak (Sajak-sajak 1976-1979)
Pengantar Kapak; Sajak Babi 1; Sajak Babi 3; Lalat; Tengah Malam Jam; Rahang; Hemat; Kapak; Doa; Sop; Kubur; Nuh; Perjalanan Kubur; Silakan Judul; Hujan; Warisan; Bayangkan; Gajah dan Semut; Para Peminum; Berdarah; Kukalung; Daging; Siapa; Walau; Satu; dan Belajar Membaca.

*

7 Januari 2017

Orang-orang Bloomington


Bibliografi antologi stori:
Budi Darma. 2004. Orang-orang Bloomington. Jakarta: Metafor Intermedia Indonesia.



1. Laki-laki Tua Tanpa Nama
stori ini ditulis di London pada 1976. bercerita tentang seorang mahasiswa di mana ia menyewa sebuah loteng pada sebuah rumah di Jalan Fess. di sana hanya ada tiga rumah, yaitu rumah milik Nyonya Nolan, Nyonya MacMillan, dan Nyonya Casper. ketiganya ialah janda dan hidup sendirian. sang mahasiswa ini menempati rumah kedua atau rumah tengah milik Nyonya MacMillan. selama tinggal di sana ia dapat melihat dan mengingat kebiasaan-kebiasaan orang-orang itu. nyonya-nyonya itu sudah tua dan punya batas kehidupan mereka sendiri. mereka tidak suka batas tersebut diganggu. suatu ketika seorang laki-laki tua menyewa loteng Nyonya Casper. hal itu membuatnya penasaran. ia ingin berkenalan dan berbincang-bincang dengan laki-laki tua itu sebagai sesama pendatang, tapi semua kesempatan sirna. ia juga pernah melihat laki-laki itu di kampusnya beberapa kali namun tidak ada kans untuk bertatap muka secara dekat. laki-laki itu pun lambat laun menjadi berita di koran milik kampus lantaran kerap terlihat di sana. pada suatu ketika, ia akhirnya dapat melihat laki-laki itu dari dekat namun perkenalan antarmereka ternyata tidak dapat terjadi.

2. Joshua Karabish
stori ini ditulis di Paris pada 1976. bercerita perihal seorang laki-laki bernama Joshua. ia seorang lelaki lembut-halus, suka puisi, musik klasik, opera, dan sebagainya. hal-hal itu amat berbeda dengan teman-teman lainnya sehingga ia dijauhi. lebih-lebih, ia memunyai penyakit sehingga teman-temannya merasa jijik untuk dekat dengan Joshua. untungnya, ia memunyai kawan di mana kawan tersebut sama sekali tidak terganggu dengan keunikan dan kekurangan Joshua. teman sekamarnya itu pun akhirnya mengetahui penyakit Joshua tersebut secara lebih rinci. kata dokter, penyakit itu akan dibawanya sampai mati. sebelum Joshua pulang untuk liburan, ia menitipkan puisi-puisinya kepada kawan sekamarnya. kemudian, surat ibu Joshua datang belakangan dan mengabarkan bahwa Joshua sudah meninggal. masalah muncul ketika temannya merasa bahwa penyakit Joshua menular kepadanya. hal itu membuatnya khawatir, namun penjelasan beberapa dokter membuatnya tenang setelah ia tahu bahwa ia dalam keadaan sehat kendati gejala-gejala penyakit pada diri Joshua terdapat padanya. puisi-puisi Joshua di tangannya suatu ketika dikirimkan untuk diikutkan lomba dengan namanya sendiri, bukan nama Joshua. ia merasa sedikit bersalah untuk perbuatan tersebut, namun ia punya alamat sendiri untuk menyelesaikan masalah itu.

3. Keluarga M
stori ini ditulis di Indiana pada 1979. bercerita mengenai seseorang penghuni apartemen. ia mendapat masalah ketika mobilnya terkesan digores dengan sengaja oleh seseorang di tempat parkir. ia mencurigai dua orang anak kakak-adik sampai ia melabrak kedua orang tua kakak-adik itu. kesan terhadap kakak-adik itu kian berlanjut menjadi buruk. di matanya, kakak-adik tersebut adalah produk kekuarga tidak bermartabat. ia juga mengutuk kakak-adik itu agar mendapat celaka. pada liburan thanksgiving keluarga kakak-adik itu mengalami kecelakaan. hal itu membuatnya berpikir untuk tidak mendoakan mereka agar mendapat celaka lagi. saat apartemen mengalami kebakaran, ia trenyuh melihat kemampuan mereka untuk menyelamatkan diri kendati harus bersusah payah. perspektifnya terhadap keluarga itu pun berubah. tak lama kemudian keluarga itu pindah dari apartemen dan perilaku mereka menyisakan kesan di hatinya.

4. Orez
stori ini ditulis di Bloomington pada 1979. bercerita tentang seorang laki-laki beristri dan punya anak kecil. ia tahu dari ayah istrinya sebelum menikahi istrinya bahwa saudara-saudari istrinya mati karena cacat kecuali calon istrinya. ayah istrinya hanya ingin mengingatkannya bahwa lebih baik ia berpikir berkali-kali sebelum ia menikahi anaknya lantaran adanya potensi kecacatan tersebut. laki-laki itu pun mengambil risiko. bayi pertama, kedua, dan ketiga gugur dan meninggal. pada kehamilan keempat istrinya berusaha untuk menggugurkannya dengan beragam cara, namun tidak berhasil. bahkan ia tidak sungkan untuk menawarkan kepada laki-laki itu agar turut membantu pengguguran bayi tersebut. tapi, bayi itu pun akhirnya lahir dan memang cacat seperti kekhawatiran sebelumnya. namun, ia tumbuh menjadi anak luar biasa. tapi, keluarbiasaan itu membuat ayah-ibunya jadi sengsara. laki-laki itu pernah mencoba untuk membunuh anak itu, namun gagal. akhirnya, kendati dalam keputusasaan tertinggi, ia dan istrinya memasrahkan takdir anak mereka di tangan anak mereka sendiri.

5. Yorrick
stori ini ditulis di Bloomington pada 1979. bercerita perihal Jalan Grant di mana seseorang telah jatuh cinta kepadanya berdasarkan struktur jalan tersebut. lalu, dia pun merasa jatuh cinta dengan seorang perempuan penghuni salah satu rumah di jalan itu ketika ia tahu bahwa wanita itu kerap terlihat di loteng. untuk mendekatinya, dia pun mencoba untuk bertanya-tanya perihal sebuah loteng di seberang loteng sang wanita. dia datang sebagai seorang calon penyewa. ia ditemui sang pemiliknya yaitu Nyonya Ellison. Nyonya Ellison pun menceritakan riwayat dua kamar di loteng itu di mana keduanya sudah lama tak dipakai orang. dia pun memerlukan waktu untuk berpikir sebelum mengambil atau menolak loteng tersebut. suatu waktu sang lelaki bertemu dengan wanita incarannya di jalan. dia pun benar-benar jatuh cinta setelah pertemuan itu. kali lain dia mendapat kesempatan berbicara dengan si wanita. ia bernama Catherine dan Catherine menjawab semua pertanyaan dari sang lelaki dengan baik. tapi, si wanita tidak menunjukkan gejala apa pun untuk mencoba mengenal sang lelaki. hal itu tidak jadi masalah untuk sang lelaki sehingga ia pun akhirnya pindah ke loteng Nyonya Ellison di mana ia dapat melihat loteng Catherine di seberang. lelaki itu sering bertemu dengan Catherine, tapi perempuan itu tetap pasif seperti biasanya. suatu ketika ia kedatangan teman pria sebagai tetangga penghuni kamar sebelah. namanya Yorrick. kehadirannya menimbulkan gangguan untuk lelaki itu dalam banyak hal. ternyata Chaterine malah ingin mendekat ke Yorrick. kendati tidak ada tanda-tanda saling mencintai, aktivitas intim mereka terasa menyakitkan di mata sang lelaki. suatu ketika ada wanita lain bernama Caroline. ia dan keluarganya baru datang dari suatu tempat. sontak lelaki itu mencintai Caroline ketika ia merasa tiada peluang untuk mendapatkan Catherine. masalahnya Caroline sedang didekati oleh Kenneth, seorang penyewa loteng di rumah lain. itu membuat sang lelaki benar-benar tidak terima. lambat laun hubungan antarmanusia pun kian jelas: Caroline untuk Yorrick dan Catherine untuk Kenneth. mereka pun berencana untuk menikah dan mengundang si lelaki, namun laki-laki itu punya rencana lain.

6. Ny. Elberhart
stori ini ditulis di Bloomington pada 1979. lelaki dalam cerita itu mengetahui Ny. Elberhart secara tak sengaja ketika sang nyonya terlibat konflik dengan seorang tukang pos. Ny. Elberhart menuduh sang tukang pos tak adil padanya karena tetangga-tetangganya mendapat surat sedangkan ia tidak. lelaki itu mulai memperhatikannya ketika ia melewati depan rumahnya. perempuan itu terlihat kotor, begitu pula pekarangan depan rumahnya. dari beberapa tetangga ia tahu bahwa suaminya telah meninggal dan ia tidak punya keluarga. lelaki itu mencoba mengirim surat gelap untuk menegur kekotoran perempuan tersebut. setelah sepekan lebih tidak melewati rumah Ny. Elberhart, laki-laki itu terkejut setelah tahu pekarangan rumah sang nyonya telah bersih. beberapa hari kemudian ia terdengar dirawat di rumah sakit. lelaki itu merasa bersalah andai sakitnya disebabkan oleh kecapaian membersihkan rumah lantaran surat gelapnya. ia pun memberanikan diri untuk menjenguknya dan memperkenalkan diri sebagai orang biasa di mana ia sering melambaikan tangan ketika lewat di depan rumahnya. sejak saat itu sang lelaki menjenguk beliau tiap hari. para perawat mengatakan bahwa beliau hanya kecapaian, tapi sang lelaki tidak percaya. bila sekadar kecapaian, beliau semestinya diberi vitamin saja dan dibolehkan pulang, bukan malah diberi banyak obat berbagai macam dan berkali-kali dibawa ke beragam ruang pemeriksaan. setelah sering menjenguk, sang lelaki mulai merasa ada perubahan pada dirinya sendiri: selalu mengantuk, sukar bangun, cepat capai, dan sering merasa lapar. seorang dokter menyatakan bahwa daya tahannya menurun. Ny. Elberhart akhirnya dibolehkan pulang dan sang lelaki masih sering mengunjungi wanita tersebut di rumahnya. wanita itu pernah bercerita bahwa ia punya suami, Charles Elberhart. setiap kali Charles sakit dan sang istri merawatnya, maka penyakit itu pun juga akan menyerang Ny. Elberhart. dua saudaranya mati karena tertular penyakit orang lain. di waktu-waktu selanjutnya, sang lelaki kerap membantu ini-itu di rumah si nyonya. sang lelaki mencurigai berdasarkan percakapan mereka bahwa Ny. Elberhart memunyai ego tinggi. wanita itu menyalahkan orang lain di mana merekalah penyebab penyakit-penyakit di dalam tubuh wanita tersebut. itulah kenapa ia berani menyatakan pendapat bahwa sebenarnya sang lelakilah penyebab ia dirawat di rumah sakit. suatu ketika sang lelaki ke rumah sakit untuk berusaha menyembuhkan penyakitnya melalui operasi. ia bertemu Ny. Elberhart di sana namun belum tahu sakit apa. wanita itu meminta maaf secara tulus karena pada pertemuan terakhir ia telah menuduh bahwa sang lelakilah penyebab penyakitnya. sang lelaki akhirnya dibolehkan pulang setelah dirawat di sana. ia sempat menelepon Ny. Elberhart ketika wanita itu masih berada di rumah sakit. tak lama kemudian nyonya tersebut meninggal dunia. melalui pengacaranya, nyonya itu telah mewariskan uang dan rumahnya kepada sang lelaki. lelaki itu memberikan penghormatan terakhirnya di rumah duka dan di pemakamannya. lelaki itu akhirnya menyumbangkan uang dan uang hasil penjualan rumah warisan nyonya tersebut ke sebuah yayasan. dulu, ia pernah mengetahui sebuah perkumpulan para penyair pembaca puisi di sekitar tempatnya. ia akhirnya mengingat perkumpulan tersebut ketika ia ikut salah satu acara mereka. hal itu membuatnya gemar menulis puisi dalam satu pekan ke depan dan mengirimkan puisi-puisi tersebut ke berbagai media cetak dengan menggunakan nama si mendiang. sayangnya, beberapa media menyatakan tidak dapat mencetak puisi-puisi tersebut. akhirnya ada satu media memuat puisi mendiang. lelaki itu senang meski ia tahu bahwa puisi mendiang akan diperlakukan sama seperti puisi-puisi lain di media cetak tersebut.

7. Charles Lebourne
stori ini ditulis di Bloomington pada 1979. stori ini mengisahkan seorang lelaki di mana ia mendapat gangguan secara tidak langsung dari sebuah kamar di apartemen seberang. gangguan itu berupa pantulan sinar matahari dari jendela kamarnya dan lampu milik sang penghuni kamar tersebut. ia akhirnya mencari tahu siapa penghuninya dan ternyata ia bernama Charles Lebourne. itu ialah nama ayahnya, namun ia ingin menyelidiki apakah ia memang ayahnya atau bukan karena gambaran tentang ayahnya dari penjelasan ibunya memang tidak jelas. suatu saat ia berhasil menemukan seorang laki-laki tua dan dia memunyai ciri-ciri secara insting sebagai ayah sang lelaki. ia memang menempati kamar apartemen pengganggu sang lelaki muda dan mereka berbicara di sana. Charles pun akhirnya mengaku kalau ia memang ayah sang lelaki. di pertemuan selanjutnya mereka membahas ibu sang lelaki di mana Charles tak pernah menepati janji untuk menikahinya. kendati begitu sang lelaki tetap menganggap Charles sebagai ayahnya. ia membuktikannya dengan jalan membayarkan tunggakan sewa apartemen, cicilan mobil, membelikan pakaian baru, membawanya ke restoran, dan membayar barang-barang belanjanya. meski begitu, ia tetap mengontrol Charles secara teratur. di waktu kemudian Charles mengalami kecelakaan. ia mengalami gegar otak dan patah tangan kanan. Charles akhirnya tinggal di sebuah loteng dengan anaknya. segala kebutuhannya dicukupi namun aroma dendam untuk membalas perlakuannya kepada sang istri membuat sang lelaki melakukan beragam kejahatan kecil kepada ayahnya. sakit ayahnya kian menjadi-jadi dan itu sebenarnya merepotkan sang anak. meski begitu, sang anak tetap menghormatinya dengan cara menemaninya sesanggup mungkin.

*